Dari Audit ke Dakwaan: Ujian Presiden Prabowo Serentak Menyeret Korporasi, Pejabat, dan Mafia Alam Sumatera
Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
MEDAN – Air bah itu datang seperti keputusan yang sudah lama ditetapkan. Ia tidak berdebat, tidak bernegosiasi. Ia hanya menagih. Menagih apa yang ditanam manusia selama dua puluh tahun: hutan yang dibabat habis, sungai yang dipersempit oleh galian liar, lereng yang digali tanpa pertimbangan, dan izin yang diteken tanpa nurani. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ratusan nyawa terenggut dalam sekejap. Jutaan orang kehilangan rumah, mata pencaharian, dan harapan. Negara berduka. Tetapi sesungguhnya, negara juga sedang bercermin pada cermin yang penuh retak – cermin dari kegagalan sistemik yang sudah diperingatkan sejak lama, secara resmi, tertulis, dan berulang, oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Inilah saatnya publik dan penegak hukum membaca ulang sejarah itu, bukan sebagai arsip yang terendam debu, tetapi sebagai dasar dakwaan yang tak terbantahkan.
Tulisan ini adalah ikhtiar untuk menyatukan fakta audit, dasar hukum, dan jeritan korban dalam satu alur yang utuh, agar terang di mata publik, dan tegas di tangan aparat penegak hukum. Karena bencana ini bukan sekadar musibah alam – ia adalah dokumentasi akhir dari pembiaran yang telah berlangsung selama dekade.
Audit yang “Menjerit”, Rakyat yang Terkubur
Selama lebih dari dua dekade, BPK mencatat dengan rapi satu pola kegagalan yang berulang dan menyakitkan: perencanaan kebencanaan yang lemah hingga tidak ada, pemanfaatan ruang publik yang menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), sistem peringatan dini yang tak menjangkau desa-desa terpencil, anggaran mitigasi yang selalu kalah saing dengan anggaran tanggap darurat, serta pengawasan izin lingkungan yang rapuh seperti kaca yang mudah pecah.
Semua itu tertulis dengan jelas dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) BPK dari tahun 2005 hingga 2025. Misalnya, LHP BPK tahun 2020 mencatat bahwa 78% kabupaten/kota di Sumatera tidak memiliki rencana mitigasi bencana yang terintegrasi dengan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). LHP tahun 2023 menambahkan bahwa 65% izin pemanfaatan lahan di kawasan hutan lindung dan zona rawan longsor di Sumatera diberikan tanpa melalui proses AMDAL yang lengkap. Negara sudah diperingatkan secara konstitusional – tetapi di lapangan, peringatan itu seperti gema di ruang kosong. Tidak ada tindakan nyata, tidak ada penegakan hukum, hanya janji yang terulang-ulang.
Kini, banjir bandang dan longsor datang sebagai “kalimat penutup” dari laporan panjang itu. Yang tertimbun bukan hanya rumah dan barang-barang berharga, tetapi juga bukti bahwa pembiaran telah berubah menjadi sebab kematian. Korban di Aceh Timur yang terjebak di dalam rumahnya ketika sungai meluap, atau keluarga di Kabupaten Tapanuli Selatan yang terseret longsor di tengah malam – mereka adalah akibat langsung dari kelalaian yang dicatat BPK selama bertahun-tahun.
LHP BPK Bukan Sekadar Rekomendasi, Ia Adalah Senjata Hukum
Masih ada yang berpura-pura lupa, bahkan sengaja melupakan, bahwa LHP BPK adalah alat bukti yang sah dan kuat dalam hukum pidana Indonesia. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK secara tegas menyatakan bahwa hasil pemeriksaan BPK dapat digunakan sebagai alat bukti permulaan dalam proses penyidikan tindak pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-X/2012 kemudian menguatkan kedudukan itu, menyatakan bahwa LHP BPK memiliki kekuatan hukum yang tidak bisa diabaikan oleh aparat penegak hukum.
Dalam praktiknya, puluhan perkara besar di Indonesia – termasuk korupsi bansos selama pandemi, penyalahgunaan anggaran infrastruktur, dan kecurangan di sektor energi – dibangun dari temuan audit BPK. Dalam konteks bencana Sumatera, artinya sangat jelas: tanpa menunggu laporan masyarakat atau penyelidikan tambahan, temuan BPK tentang pengelolaan DAS, tata ruang, kehutanan, perizinan, dan mitigasi bencana sudah cukup untuk memulai penyidikan pidana. Tidak ada alasan lagi untuk menunda.
Tiga Ujung Tombak Penegakan Hukum yang Harus Bergerak Serentak
Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki tiga instrumen utama yang dapat digerakkan secara serentak dan saling menguatkan untuk menyidik kasus bencana Sumatera. Tidak satu pun instrumen ini boleh dibiarkan terlewatkan, karena masing-masing memiliki peran yang krusial dalam membongkar jaringan kejahatan yang kompleks.
1. Polri: Pintu Masuk Pidana yang Paling Luas
Polri memiliki wewenang untuk menyidik pidana lingkungan, kehutanan, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) – tiga jenis kejahatan yang saling terhubung dalam kasus bencana Sumatera. Korporasi dan aktor lapangan dapat dijerat dengan berbagai pasal hukum, antara lain:
- Pasal 98 dan 99 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup: Yang mengancam pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar bagi siapa pun yang melakukan perusakan lingkungan yang menimbulkan korban manusia atau kerusakan massal.
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. UU No. 18 Tahun 2013: Bagi mereka yang melakukan perambahan kawasan hutan lindung atau kerusakan hulu DAS yang menyebabkan banjir atau longsor.
- Pasal 359 KUHP: Terkait kelalaian yang menyebabkan matinya orang – berlaku bagi operator lapangan yang tidak mematuhi aturan atau pejabat yang mengabaikan bahaya.
- UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU: Jika keuntungan korporasi berasal dari pembukaan lahan ilegal, tambang tanpa izin, atau rekayasa AMDAL yang tidak sah.
Di sini yang disasar bukan hanya operator kecil di lapangan, tetapi juga direksi, komisaris, pemodal, dan kontraktor yang terlibat dalam rantai pasokan kejahatan.
2. Kejaksaan: Senjata Ganda untuk Pidana dan Pemulihan Ekosistem
Kejaksaan adalah institusi penyidik yang mumpuni untuk menyidik Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) dan mengajukan gugatan pemulihan lingkungan. Ia memegang dua senjata sekaligus:
- Pidana Korupsi: Melalui Pasal 2 dan 3 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) terhadap pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dalam pemberian izin, pembiaran pelanggaran, atau manipulasi kebijakan tata ruang yang berujung pada kerugian keuangan negara dan korban massal.
- Gugatan Perdata Negara: Berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup untuk memaksa korporasi membayar biaya pemulihan ekosistem. Presedennya nyata: kasus PT Kallista Alam di Riau yang harus membayar Rp 136 miliar untuk memulihkan hutan yang dibakar, dan kasus PT Bumi Mekar Hijau di Jambi yang mendapatkan tuntutan pemulihan sebesar Rp 3,7 triliunan di tingkat pengadilan pertama. Bahkan melalui mekanisme class action, kejaksaan dapat mewakili kepentingan ribuan korban bencana.
3. KPK: Habisin Mafia Perizinan dan Korupsi Struktural
KPK dapat memasuki ruang ketika terdapat bukti suap, gratifikasi, atau konspirasi antara pejabat dan korporasi dalam pemberian izin lingkungan atau pengelolaan lahan. Korupsi sektor lingkungan selalu berdampak luas – dan bencana Sumatera adalah bukti empirisnya.
Dengan koordinasi bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), KPK dapat mengikuti jejak uang dari pembukaan hutan ilegal, tambang liar, hingga dari izin yang diperdagangkan seperti barang dagangan. Di sinilah kejahatan tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran lingkungan, tetapi sebagai korupsi struktural yang mematikan – yang telah merusak sistem dari dalam dan menimbulkan kerusakan yang tidak teruk.
Bukti Digital Rakyat: Sensor Paling Jujur di Era Modern
Di era digital, kamera warga adalah saksi yang tidak bisa disuap dan tidak bisa dibeli. Foto dan video pembukaan hutan, aliran lumpur dari tambang, sungai yang berubah warna menjadi coklat kemerahan, hingga jebolnya tanggul yang seharusnya melindungi desa – semuanya adalah alat bukti sah menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) jo. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dengan verifikasi forensik digital melalui metadata (waktu, lokasi, perangkat yang digunakan), URL, dan konteks yang jelas, bukti dari media sosial menjadi petunjuk yang kuat. Jika bukti digital warga disandingkan dengan empat elemen lain, terbentuklah rantai pembuktian yang hampir sempurna:
1. LHP BPK: Sebagai bukti administratif tentang kegagalan sistem.
2. Citra Satelit KLHK/LAPAN: Sebagai bukti ilmiah tentang perubahan lahan dan kerusakan ekosistem.
3. Data Curah Hujan dan Debit Ekstrem dari BMKG: Sebagai bukti kausalitas antara kerusakan lingkungan dan terjadinya bencana.
4. Data Aliran Dana dari PPATK: Sebagai bukti finansial tentang sumber daya yang digunakan untuk kejahatan.
Titik Kritis: Oknum Pejabat Tidak Boleh Kebaikan
Inilah simpul keadilan yang selama ini sering dihindari oleh aparat penegak hukum: pejabat di kementerian dan lembaga teknis (seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK, Bappeda), serta pemerintah daerah, yang telah melakukan kelalaian atau penyalahgunaan kewenangan, tidak boleh lagi bersembunyi di balik frasa “kebijakan lama” atau “tanggung jawab bersama”. LHP BPK adalah dokumen resmi negara yang berlaku sampai ditindaklanjuti – dan pengabaiannya yang berujung pada korban jiwa adalah kejahatan.
Pejabat yang melakukan tindakan berikut dapat dijerat dengan hukum:
- Memberi izin menyimpang dari RTRW atau zona perlindungan.
- Mengabaikan AMDAL dan Rencana Kegiatan Lingkungan (RKL)/Rencana Penanggulangan Lingkungan (RPL).
- Tidak menindaklanjuti rekomendasi BPK bertahun-tahun.
Mereka dapat dijerat dengan Pasal 3 UU Tipikor (penyalahgunaan kewenangan), Pasal 359 KUHP (kelalaian yang menyebabkan kematian), atau Pasal 55 dan 56 KUHP (penyertaan dalam kejahatan). Bencana ini menunjukkan bahwa kelalaian birokrasi bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi – ia telah berubah menjadi faktor kematian yang nyata.
Ujian Sejarah bagi Pemerintahan Presiden Prabowo
Presiden Prabowo Subianto memulai masa jabatannya bukan dengan situasi normal, melainkan dengan warisan krisis ekologis yang akut dan mematikan. Ia mewarisi tiga hal sekaligus:
1. Bencana lingkungan terbesar dalam satu dekade terakhir di Indonesia, dengan korban jiwa dan kerusakan material yang tak terhitung.
2. Tumpukan LHP BPK yang merekam sebab-sebab bencana itu sejak 20 tahun lalu.
3. Harapan jutaan korban yang kehilangan segalanya dan menunggu keadilan.
Jika hari ini Presiden memerintahkan dengan tegas:
- Polri bergerak cepat menyidik pidana lingkungan dan TPPU, menangkap tidak hanya operator kecil tetapi juga aktor utama.
- Kejaksaan mengajukan gugatan pemulihan ekosistem hingga triliunan rupiah dan menyidik Tipikor terhadap pejabat yang bersalah.
- KPK membongkar jaringan mafia perizinan dari pusat sampai daerah, bekerja sama dengan PPATK untuk mengikuti jejak uang.
Maka inilah penegakan hukum lingkungan terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Inilah titik balik yang kita tunggu-tunggu – saat negara tidak lagi sekadar memadamkan api bencana, tetapi memutus sumbu penyebabnya secara total.
Namun jika LHP BPK kembali masuk laci, jika yang ditangkap hanya operator kecil di lapangan sementara pemberi izin dan pemodal tetap bebas, maka kita sedang menabung bencana yang lebih besar untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan. Sumatera akan terus terjangkit banjir dan longsor, dan korban akan terus bertambah.
Di hadapan korban yang terkubur dan keluarga yang bersedih, sejarah tidak ditulis oleh pidato yang indah. Ia ditulis oleh keberanian menegakkan hukum – keberanian yang tidak mengenal tebang pilih, tidak mengenal kedudukan, dan tidak mengenal alasan.
Dan di hadapan sejarah itu pula, hanya ada satu pilihan yang benar: mengubah audit menjadi dakwaan, dan dakwaan menjadi keadilan yang nyata bagi rakyat Indonesia.
(Red)

